Menarik membaca berita dan ulasan sejumlah media online sehari teakhir ini soal ribut-ribut pelarangan tayang program investigasi Sigi di SCTV. Disebut-sebut ada campur tangan Menkum Ham Patrialis Akbar dibalik pembatalan tersebut. Konon pak menteri tak berkenan ‘cacat’ instansi di bawah kementriannya dibongkar ke publik.
Disebutkan pula pembatalan tersebut dilakukan manajemen SCTV setelah ‘didatangi’ utusan Menkum Ham ke markas Liputan 6 di kawasan Senayan. Ujungnya bisa ditebak, sang pemilik tak mau ikut kena getah masalah, dan diturunkanlah program Sigi dari jadwal tayang Rabu malam lalu. Padahal seharusnya Sigi akan mengungkap habis transaksi seks di dalam penjara lewat investigasinya yang berjudul “Bisnis Seks di Balik Jeruji Penjara”.
Diributkan di media jelas pihak-pihak yang berkepentingan membantah. Menkum Ham langsung menolak dikatakan telah melakukan intervensi sedemikian dalamnya di dapur redaksi Liputan 6. Kepada Tempo Interaktif Patrialis menyatakan, “Kalau pembatalan tayangan itu dikatakan karena permintaan saya, pernyataan tersebut fitnah seribu persen. Saya tak pernah menghubungi orang SCTV terkait program Sigi.” Patrialis juga menegaskan tidak mengenal pemilik SCTV Fofo Sariatmaja terkait masalah ini.
Patrialis meradang setelah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menuding ia campur tangan ke tubuh redaksi Liputan 6 meminta agar program Sigi tak ditayangkan. “Tindakan itu melanggar Pasal 4 (ayat 2) UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,” kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Aditya Heru Wardhana. Pasal itu berisi ketentuan bahwa terhadap Pers Nasional tak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Okelah mentri Patrialis punya hak membantah, tapi jangan lupa AJI juga pastinya tak sembarang tuduh untuk kasus yang super serius ini. AJI pasti punya bukti atau setidaknya informasi yang cukup sahih mengenai pelarangan tayang tersebut.
Terus terang meski tak terlalu kaget dengan berita semacam ini, saya tetap menyesalkan mengapa pelarangan tayang sebuah program berita tv masih ada di negeri ini. Jika ini benar, sepertinya kita terlempar kembali ke masa Orde Baru dimana rambu-rambu yang boleh dan tidak boleh sebuah informasi diberitakan sangat tidak jelas. Represi macam ini jelas dalam skala kecil mengancam keberadaan bangunan demokrasi negeri ini. Sebuah usaha yang masih terus diupayakan banyak kalangan.
Bagi praktisi media jelas ini sebuah bencana. Sebuah lembaga terhormat ’sebesar’ redaksi Liputan 6 saja bisa tunduk pada kekuasaan dan modal. Bagaimana dengan redaksi lain yang relatif belum sebesar namanya dari Liputan 6?
Bagi Liputan 6 SCTV ini merupakan tragedi. Sebuah kredibilitas dipertaruhkan begitu rupa. Padahal untuk membangun kredibilitas media bukan perkara mudah. Butuh perjuangan bertahun-tahun, butuh waktu yang tidak pendek. Ibarat kata, harus ‘berdarah-darah’ dulu agar publik percaya pada kredibilitas media yang dibangun.
Apa yang terjadi kini Liputan 6 meruntuhkan kredibilitasnya sendiri. Sebuah kenyataan pahit, karena sebelumnya Liputan 6 SCTV dikenal sangat vokal, berani berhadap-hadapan dengan penguasa dalam berbagai kasus.
Karenanya, Apni seorang mantan awak SCTV di akun twitternya menuliskan kegeramannya. Salah satunya berbunyi begini “Kasihan liputan 6 SCTV ditekan penguasa dan pengusaha sekaligus. Lawan. Kalian punya sejarah melawan rezim.”
Apni juga mengingatkan bahwa dulu mereka berani ‘melawan’ siapapun, termasuk rencana pencaplokan SCTV oleh penguasa, “Di era @RizaPrimadi Liputan6 bahkan sempat mau dicaplok Habibie. Kalian pernah menggagalkan pemred bentukan Baramuli.”
Apni sebagai orang yang pernah terlibat membangun SCTV tentunya geregetan melihat kondisi yang dihadapi Liputan 6 saat ini. Ia pastinya selain geram juga menyayangkan mengapa kondisi begitu mudah berubah, dan tentunya merubah ‘kawan-kawannya’ yang masih ada di dalam.
Jika kita buka sejarah media tv tanah air, publik di tanah air setidaknya mencatat betapa ‘hebatnya’ Liputan 6 SCTV di ujung masa Orde Baru. Di detik-detik jatuhnya pemerintahan Soeharto tahun 1998, saya ingat sekali Liputan 6 menampilkan wawancara yang dikategorikan ‘berani’ pada masanya. Saat itu Host Liputan 6 Ira Koesno mewawancarai mantan menteri Orde Baru, Sarwono Kusumaatmaja soal pemerintahan Soeharto. Dalam Wawancara itu Sarwono mengibaratkan pemerintahan Soeharto saat itu sebagai pemerintahan yang sakit gigi. Jika giginya sakit, cabut saja giginya, begitu antara lain Sarwono berargumen.
Wawancara itu kemudian melambungkan Liputan 6 SCTV sebagai redaksi pemberitaan terdepan. Rating dan share program ini meroket meninggalkan program sejenis milik stasiun tv lain. Sayapun -dan mungkin peminat berita lainnya- Liputan 6 sebagai program berita wajib tonton. Karena untuk berita politik tergolong berani dan terdepan.
Seiring perubahan waktu, perubahan arah politik dan bisnis, berubah pula sebuah kredibilitas. Sejumlah jurnalis handal SCTV satu persatu kemudian hengkang. Ada persoalan internal yang sayup-sayup saya dengar. Mulai dari tangan ‘pemodal’ yang makin perkasa, perubahan orientasi bisnis hingga kabar awak redaksi yang sulit disetir. Semuanya nyaris tak terjawab, dan publik pun hanya bisa menduga-duga.
Namun yang kemudian terjadi, perlahan posisi terhormat Liputan 6 sebagai stasiun tv yang aktual, tajam, terpercaya meredup. Secara isi, Liputan 6 tak lagi dijadikan referensi tontonan. Kredibilitas yang berhasil dibangun dengan ‘darah’ dan ‘air mata’ kini tinggal kenangan. Setidaknya kasus program Sigi makin mengentalkan hal itu.
sumber : http://media.kompasiana.com/group/mainstream-media/2010/10/16/runtuhnya-kredibilitas-bernama-liputan-6/
0 comments:
Post a Comment