JOSE Mourinho telah berubah. Dia bukan lagi “si kancil” yang selalu malu-malu mencuri kemenangan, kemudian kabur untuk menyelamatkannya. Kini, pelatih asal Portugal itu telah menjadi “singa” yang buas, yang selalu siap menerkam lawan-lawannya.
Layaknya singa, dia tak tak pernah takut, apalagi malu menghadapi lawan. Semua musuh diserangnya secara membabi-buta, dicaplok, dicabik-cabik hingga luluh-lantak, dengan berondongan gol demi gol dari pasukannya.
Bersama Real Madrid, yang dia latih sejak 31 Mei lalu, Mourinho memang seperti telah bertransformasi. Kini, tak ada lagi orang yang berani menyebutnya sebagai pelatih pengusung taktik ultradefensif, seperti yang diperlihatkannya bersama tim-tim yang dia latih sebelumnya.
Di tangan Mourinho, 47 tahun, Madrid tak kehilangan taji-tajinya. Pemain-pemain seperti Cristiano Ronaldo atau Gonzalo Higuain, yang musim lalu mencetak 26 dan 27 gol di La Liga, bersama pelatih Manuel Pellegrini, tetap tajam seperti biasanya.
Khusus untuk Ronaldo, bahkan ada catatan khusus. Jika musim lalu Pellegrini kerap memaksanya bermain sebagai penyerang murni demi mencetak banyak gol, musim ini Mourinho menempatkan Ronaldo di posisi idealnya, sebagai pemain sayap, yang lebih jauh dari gawang lawan.
Tapi begitu, Ronaldo toh tetap produktif. Di La Liga, kini dia telah mengoleksi sepuluh gol dari delapan laga. Mourinho pun tampaknya sudah bisa bermimpi bisa membuat Ronaldo kembali mencetak 42 gol seperti saat membela Manchester United di musim 2007/08.
Klub asal kawasan Cantabria, Racing Santander, menjadi tim terakhir yang dilahap Madrid. Minggu (24/10), tim asuhan Miguel Angel Portugal dihancurkan Mourinho dan pasukannya 6-1. Sebelumnya, Madrid bersama Mourinho juga menang besar saat menekuk Espanyol (3-0), Depotivo La Coruna (6-1), dan Malaga (4-1).
Total, di delapan laga awal La Liga, “Los Merengues” telah menggelontorkan 22 gol ke gawang lawan, atau rata-rata 2,75 gol per pertandingan. Jumlah ini lebih baik dari torehan Madrid bersama Pellegrini, yang mencetak 21 gol di delapan laga awal musim lalu.
Bahkan, Madrid asuhan Mourinho jauh lebih produktif dibanding saat Madrid mencetak rekor gol terbanyak di La Liga, 107 gol, di musim 1989/90. Ketika itu, di bawah asuhan pelatih John Toshack, dalam delapan laga awal, Madrid hanya mencetak 16 gol.
***
Di lapangan, permainan “Los Merengues” juga sangat atraktif. Ronaldo dan kawan-kawan memang tak bermain sepeti seteru mereka Barcelona, yang sangat kuat dalam ball possession. Madrid lebih mengutamakan permainan cepat, dengan serangan yang langsung diarahkan ke pertahanan lawan.
Dengan formasi baku 4-2-3-1, Ronaldo dan Higuain, dengan bantuan Mesut Oezil serta Angel Di Maria dari lini tengah, kerap menciptakan gelombang serangan dahsyat yang memporak-porandakan pertahanan lawan. Sementara di belakang mereka, duet Xabi Alonso dan Sami Khedira begitu perkasa jadi benteng pertama Madrid dari serangan lawan.
Memang, duo Alonso-Khedira belum bisa disamakan dengan duet holding midfielder legendaris Madrid, Claude Makelele dan Flavio Conceicao yang bersinar di awal tahun 1990-an. Namun, setidaknya, geliat Alonso-Khedira telah membuat kerja kuartet Segio Ramos, Ricardo Carvalho, Pepe, serta Marcelo, di barisan pertahan Madrid, jadi lebih ringan.
Imbasnya, jala gawang Iker Cassilas pun jadi jarang bergetar. Dengan hanya kebobolan empat gol, saat ini, Madrid juga berstatus sebagai tim dengan pertahanan terbaik. Sekali lagi, strategi racikan Mourinho ini jelas jauh lebih baik jika dibandingkan dengan era Pellegrini, di mana gawang Madrid telah jebol enam kali di delapan laga awal.
Makan Korban
Hanya memang, tidak ada gading yang tak retak. Di bawah Mourinho, Madrid tetap berpotensi melahirkan “pasukan sakit hati” alias pemain-pemain yang merasa terpinggirkan. Ya, dengan gemilangnya permainan Ronaldo dan kawan-kawan, nama-nama seperti Sergio Canales, Pedro Leon, Fernando Gago, Lassana Diarra, Mahamadou Diarra, Esteban Granero, atau bahkan Karim Benzema, memang berpotensi jadi “camat” alias cadangan mati.
Pasalnya, pelatih bernama lengkap Jose Mario dos Santos Felix Mourinho ini memang dikenal sebagai pelatih yang punya filosofi “don’t change the winning team”. Tak heran, dari laga ke laga, pemain-pemain yang kita saksikan dalam line up Madrid, terus yang itu-itu saja.
Itu juga terjadi saat dia melatih Chelsea di era 2004-07. Nama-nama seperti John Terry, Ricardo Carvalho, Frank Lampard, ataupun Didier Drogba adalah sosok-sosok “The Untouchables”, seperti juga Ronaldo, Di Maria, ataupun Oezil, di Madrid saat ini.
Tapi, itulah Mourinho. Terlepas dari watak keras kepalanya-terutama soal pilihan strateginya-suami dari Tami, 39 tahun ini, tak bisa dimungkiri merupakan sosok pelatih genius. Dan, kini para Madridista tengah menunggu berapa banyak trofi apa yang bisa dipersembahkannya, di akhir musim nanti.
Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor, 26 Oktober 2010
Di tangan Mourinho, 47 tahun, Madrid tak kehilangan taji-tajinya. Pemain-pemain seperti Cristiano Ronaldo atau Gonzalo Higuain, yang musim lalu mencetak 26 dan 27 gol di La Liga, bersama pelatih Manuel Pellegrini, tetap tajam seperti biasanya.
Khusus untuk Ronaldo, bahkan ada catatan khusus. Jika musim lalu Pellegrini kerap memaksanya bermain sebagai penyerang murni demi mencetak banyak gol, musim ini Mourinho menempatkan Ronaldo di posisi idealnya, sebagai pemain sayap, yang lebih jauh dari gawang lawan.
Tapi begitu, Ronaldo toh tetap produktif. Di La Liga, kini dia telah mengoleksi sepuluh gol dari delapan laga. Mourinho pun tampaknya sudah bisa bermimpi bisa membuat Ronaldo kembali mencetak 42 gol seperti saat membela Manchester United di musim 2007/08.
Klub asal kawasan Cantabria, Racing Santander, menjadi tim terakhir yang dilahap Madrid. Minggu (24/10), tim asuhan Miguel Angel Portugal dihancurkan Mourinho dan pasukannya 6-1. Sebelumnya, Madrid bersama Mourinho juga menang besar saat menekuk Espanyol (3-0), Depotivo La Coruna (6-1), dan Malaga (4-1).
Total, di delapan laga awal La Liga, “Los Merengues” telah menggelontorkan 22 gol ke gawang lawan, atau rata-rata 2,75 gol per pertandingan. Jumlah ini lebih baik dari torehan Madrid bersama Pellegrini, yang mencetak 21 gol di delapan laga awal musim lalu.
Bahkan, Madrid asuhan Mourinho jauh lebih produktif dibanding saat Madrid mencetak rekor gol terbanyak di La Liga, 107 gol, di musim 1989/90. Ketika itu, di bawah asuhan pelatih John Toshack, dalam delapan laga awal, Madrid hanya mencetak 16 gol.
***
Di lapangan, permainan “Los Merengues” juga sangat atraktif. Ronaldo dan kawan-kawan memang tak bermain sepeti seteru mereka Barcelona, yang sangat kuat dalam ball possession. Madrid lebih mengutamakan permainan cepat, dengan serangan yang langsung diarahkan ke pertahanan lawan.
Dengan formasi baku 4-2-3-1, Ronaldo dan Higuain, dengan bantuan Mesut Oezil serta Angel Di Maria dari lini tengah, kerap menciptakan gelombang serangan dahsyat yang memporak-porandakan pertahanan lawan. Sementara di belakang mereka, duet Xabi Alonso dan Sami Khedira begitu perkasa jadi benteng pertama Madrid dari serangan lawan.
Memang, duo Alonso-Khedira belum bisa disamakan dengan duet holding midfielder legendaris Madrid, Claude Makelele dan Flavio Conceicao yang bersinar di awal tahun 1990-an. Namun, setidaknya, geliat Alonso-Khedira telah membuat kerja kuartet Segio Ramos, Ricardo Carvalho, Pepe, serta Marcelo, di barisan pertahan Madrid, jadi lebih ringan.
Imbasnya, jala gawang Iker Cassilas pun jadi jarang bergetar. Dengan hanya kebobolan empat gol, saat ini, Madrid juga berstatus sebagai tim dengan pertahanan terbaik. Sekali lagi, strategi racikan Mourinho ini jelas jauh lebih baik jika dibandingkan dengan era Pellegrini, di mana gawang Madrid telah jebol enam kali di delapan laga awal.
Makan Korban
Hanya memang, tidak ada gading yang tak retak. Di bawah Mourinho, Madrid tetap berpotensi melahirkan “pasukan sakit hati” alias pemain-pemain yang merasa terpinggirkan. Ya, dengan gemilangnya permainan Ronaldo dan kawan-kawan, nama-nama seperti Sergio Canales, Pedro Leon, Fernando Gago, Lassana Diarra, Mahamadou Diarra, Esteban Granero, atau bahkan Karim Benzema, memang berpotensi jadi “camat” alias cadangan mati.
Pasalnya, pelatih bernama lengkap Jose Mario dos Santos Felix Mourinho ini memang dikenal sebagai pelatih yang punya filosofi “don’t change the winning team”. Tak heran, dari laga ke laga, pemain-pemain yang kita saksikan dalam line up Madrid, terus yang itu-itu saja.
Itu juga terjadi saat dia melatih Chelsea di era 2004-07. Nama-nama seperti John Terry, Ricardo Carvalho, Frank Lampard, ataupun Didier Drogba adalah sosok-sosok “The Untouchables”, seperti juga Ronaldo, Di Maria, ataupun Oezil, di Madrid saat ini.
Tapi, itulah Mourinho. Terlepas dari watak keras kepalanya-terutama soal pilihan strateginya-suami dari Tami, 39 tahun ini, tak bisa dimungkiri merupakan sosok pelatih genius. Dan, kini para Madridista tengah menunggu berapa banyak trofi apa yang bisa dipersembahkannya, di akhir musim nanti.
Tulisan ini dimuat di Harian TopSkor, 26 Oktober 2010
0 comments:
Post a Comment