Setiap orang pernah kehilangan uang. Tapi tidak setiap orang pernah merasakan kehilangan uang. Bahkan ada orang yang dengan sadar menghilangkan uang namun tidak menganggapnya sebagai suatu kehilangan. Ditentukan dengan besar kecilnya nominal uang. Kehilangan 100 rupiah bukanlah sebagai kehilangan. Sementara kehilangan 100 juta rupiah barulah itu dinamakan dengan kehilangan dan perlu untuk ditangisi. Begitu anggapan orang.
Seorang ibu muda sedang mengantri di loket kasir sebuah pusat perbelanjaan di Tasikmalaya. Aku memperhatikannya, di lehernya berkalungkan emas putih, di pergelangan tangannya Nampak Gucci untuk mempermanis penampilannya. Kasir yang berjaga sibuk menginput data belanjaan si ibu ke dalam computer lewat sinar inframerah yang menyorot pada barcode barang-barang tersebut. Kasir berkata, “Totalnya satu juta empat ratus ribu rupiah”. Segera si ibu mengeluarkan kartu kredit dari dompet ular Versace miliknya dan berlalu begitu saja. Padahal hasil perhitungan computer mentotal belanjaan si ibu sejumlah Rp. 1.399.950 kurang Rp. 50 dari angka yang diucapkan kasir.
Sekarang giliranku untuk membayar sebungkus rokok Marlboro dan sebotol air mineral. Kasir segera mendatanya dan kembali bibir mungilnya yang kemerah-merahan berucap, “Totalnya empat belas ribu rupiah”. Computer merinci perhitungan dengan detail, Rp. 11.925 untuk Marlboro dan Rp. 1.875 untuk air mineral. Aku membayar dengan uang tunai Rp. 15.000 dan kasir mengembalikan Rp. 1.000 milikku ditambah sebuah permen KIS. “Sial, kasir memang sengaja melakukan pembulatan harga menjadi Rp. 14.000 dan sekarang telah memaksaku membeli permen”, aku bergumam. Alasannya sangat sederhana, baik aku ataupun si ibu muda tadi tidak mempermasalahkan Rp. 150 kami, yakni tidak mau rebut gara-gara uang sekecil itu.
Tapi akan menjadi masalah tatkala mentalitas semacam ini dialami oleh setiap orang. Persepsi di masyarakat yang menyepeleknan hal-hal kecil akan berujung pada resiko kerugian yang besar. Nilai nominal uang kecil akan terakumulasi menjadi nominal yang besar. Ibarat kata, seratus juta tanpa seratus rupiah tidak akan genap menjadi seratus juta rupiah. Saat ini, pecahan uang terkecil yang beredar di masyarakat dalam nominal 50 rupiah. Dari contoh diatas, setiap orang memiliki kesempatan untuk menghilangkan minimalnya 50-100 rupiah dalam setiap transaksi jual beli yang dilakukannya. Terlepas dari faktor penjual atau kasir yang seringkali melakukan strategi penetapan harga-harga barang untuk tujuan mempengaruhi sisi psikis harga dari pembeli/ konsumen, tercecernya rupiah dikarenakan kesadaran individu pemegang uang tersebut.
Koin uang recehan yang disimpan di saku celana menimbulkan bunyi-bunyian nyaring yang akan menarik perhatian banyak orang saat berjalan. Rasa risih atau malu karena dirasa merusak penampilan, menyebabkan individu enggan untuk menyimpan uang receh. Disamping pertimbangan beban berat saat dibawa kemanapun. Tidak aneh apabila sekarang banyak orang yang menginginkan kartu kredit dan kartu ATM sebagai alat pembayaran yang lebih simpel. Sayangnya, keinginan ini terkendala pada kebutuhan untuk melakukan transaksi dalam jumlah yang kecil. Dibandingkan dengan beban biaya yang harus ditanggung pada setiap transaksi pembayaran akan sangat mubazir dan menambah total pengeluaran yang harus ditanggung. Umumnya orang-orang Indonesia hanya akan melakukan transaksi apabila berlangsung dalam jarak jauh dan bernilai diatas Rp. 50.000. Alhasil, sebenarnya masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari pecahan uang Rp. 50 sekalipun.
Kesadaran masyarakat masih sangat minim. Tujuan masyarakat menyimpan uang receh tak lebih untuk membayar parkir, pengamen atau bersedekah pada fakir miskin di jalanan. Sangat jarang masyarakat yang menyadari uang receh untuk tujuan berinvestasi. Masyarakat menganggap uang receh sudah tidak mampu lagi dan tidak berharga lagi sebagai alat untuk memnuhi kebutuhan, dan lebih memilih untuk membiarkan uang receh tercecer, terinjak-injak, dan hilang dari perputaran uang di masyarkat.
Peran perbankan (tidak terkecuali perbankan syari’ah) masih belum nampak untuk mengatasi permasalahan ini. Bahkan sebagai lembaga keuangan yang memegang peran dalam lalu lintas perputaran uang di negeri ini, seolah melanggengkan permasalahan. Sebagai contohnya, pembuatan iklan promosi bank di televisi hanya menampilkan uang dalam pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu rupiah. Tak pernah ada iklan yang menampilkan uang pecahan seratus atau lima puluh rupiah. Pihak perbankan pun tidak memberikan kemudahan pada para nasabah menabungkan 50 rupiah sebagai setoran minimum di bank. Biaya administrasi per bulan yang diambil oleh bank dari rekening tabungan mensyaratkan saldo minimum Rp. 2.000.000 agar saldo tidak berkurang karena potongan biaya administrasi. Keberadaan biaya administrasi dianggap wajar sebagai imbalan terhadap jasa pelayanan bank. Padahal jika bank tidak menerapkan biaya administrasi sekalipun, pihak bank masih tetap memperoleh keuntungan dari uang yang dititipkan nasabah. Keuntungan tersebut berupa nilai waktu dari uang. Apalagi saat ini tersedia paket investasi dalam jangka pendek, sehingga akan sangat mungkin pihak bank melipatgandakan keuntungan.
Penggalangan dana oleh bank dari masyarakat belum mampu sampai ke ranah jumlah nominal uang terkecil. Lagi-lagi yang menjadi focus perhatian tertuju pada nasabah-nasabah kelas kakap, yaitu nasabah yang memiliki modal besar. Sampai-sampai pihak bank pun rela mendatangi tempat tinggal nasabah kelas kakap untuk menegosiasikan keuntungan dana nasabah yang akan di berikan oleh bank. Tentunya dengan memasukan servis ekstra bagi nasabah kelas kakap. Sementara masyarakat dengan uang receh masih dibiarkan tercecer.
Sebagai langkah solutif, pihak bank mulai memperhatikan permasalahan tercecernya recehan-recehan yang ada di tangan orang per orangan. Pemberian kotak penyimpanan uang receh semacam celengan kepada tiap orang merupakan langkah strategis sebagai sarana penyadaran kembali masyarakat akan pentingnya menabung, sebagai media untk menarik nasabah bank, dan sebagai cara untuk meminimalisir hilangnya uang recehan dari perputaran mata uang di masyarakat. Saat jumlah uang recehan sudah memenuhi kotak penyimpanan, nasabah memindahkan tempat penyimpanannya di rekening bank. Langkah serupa sempat diaplikasikan oleh Kopkun di lingkungan mahasiswa Kampus UNSOED dengan memberikan celengan yang terbuat dari botol bekas air mineral dan cukup berjalan sukses.
Aku teringat pada seorang petugas dinas kebersihan kota Tasikmalaya. Usianya sekitar 27 tahun. Dia menarik gerobak sampah di sekitar Bank Indonesia. Hari itu adalah hari keberuntungannya, karena dia menemukan sebuah koin logam seratus rupiah yang tercecer di persimpangan jalan sepi bekas kendaraan mewah berlalu lalang. Baginya yang setiap hari bertugas membersihkan jalanan kota, memunguti sampah-sampah, memungut koin seratus rupiah tidaklah menjadi hal memalukan meski kian banyak orang menganggap recehan sebagai sampah. Seratus rupiah tetaplah berharga untuk menyambung hidupnya. Bisakah bank melakukan hal yang sama?[]
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/29/misi-penyelamatan-satu-rupiah/
Sekarang giliranku untuk membayar sebungkus rokok Marlboro dan sebotol air mineral. Kasir segera mendatanya dan kembali bibir mungilnya yang kemerah-merahan berucap, “Totalnya empat belas ribu rupiah”. Computer merinci perhitungan dengan detail, Rp. 11.925 untuk Marlboro dan Rp. 1.875 untuk air mineral. Aku membayar dengan uang tunai Rp. 15.000 dan kasir mengembalikan Rp. 1.000 milikku ditambah sebuah permen KIS. “Sial, kasir memang sengaja melakukan pembulatan harga menjadi Rp. 14.000 dan sekarang telah memaksaku membeli permen”, aku bergumam. Alasannya sangat sederhana, baik aku ataupun si ibu muda tadi tidak mempermasalahkan Rp. 150 kami, yakni tidak mau rebut gara-gara uang sekecil itu.
Tapi akan menjadi masalah tatkala mentalitas semacam ini dialami oleh setiap orang. Persepsi di masyarakat yang menyepeleknan hal-hal kecil akan berujung pada resiko kerugian yang besar. Nilai nominal uang kecil akan terakumulasi menjadi nominal yang besar. Ibarat kata, seratus juta tanpa seratus rupiah tidak akan genap menjadi seratus juta rupiah. Saat ini, pecahan uang terkecil yang beredar di masyarakat dalam nominal 50 rupiah. Dari contoh diatas, setiap orang memiliki kesempatan untuk menghilangkan minimalnya 50-100 rupiah dalam setiap transaksi jual beli yang dilakukannya. Terlepas dari faktor penjual atau kasir yang seringkali melakukan strategi penetapan harga-harga barang untuk tujuan mempengaruhi sisi psikis harga dari pembeli/ konsumen, tercecernya rupiah dikarenakan kesadaran individu pemegang uang tersebut.
Koin uang recehan yang disimpan di saku celana menimbulkan bunyi-bunyian nyaring yang akan menarik perhatian banyak orang saat berjalan. Rasa risih atau malu karena dirasa merusak penampilan, menyebabkan individu enggan untuk menyimpan uang receh. Disamping pertimbangan beban berat saat dibawa kemanapun. Tidak aneh apabila sekarang banyak orang yang menginginkan kartu kredit dan kartu ATM sebagai alat pembayaran yang lebih simpel. Sayangnya, keinginan ini terkendala pada kebutuhan untuk melakukan transaksi dalam jumlah yang kecil. Dibandingkan dengan beban biaya yang harus ditanggung pada setiap transaksi pembayaran akan sangat mubazir dan menambah total pengeluaran yang harus ditanggung. Umumnya orang-orang Indonesia hanya akan melakukan transaksi apabila berlangsung dalam jarak jauh dan bernilai diatas Rp. 50.000. Alhasil, sebenarnya masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari pecahan uang Rp. 50 sekalipun.
Kesadaran masyarakat masih sangat minim. Tujuan masyarakat menyimpan uang receh tak lebih untuk membayar parkir, pengamen atau bersedekah pada fakir miskin di jalanan. Sangat jarang masyarakat yang menyadari uang receh untuk tujuan berinvestasi. Masyarakat menganggap uang receh sudah tidak mampu lagi dan tidak berharga lagi sebagai alat untuk memnuhi kebutuhan, dan lebih memilih untuk membiarkan uang receh tercecer, terinjak-injak, dan hilang dari perputaran uang di masyarkat.
Peran perbankan (tidak terkecuali perbankan syari’ah) masih belum nampak untuk mengatasi permasalahan ini. Bahkan sebagai lembaga keuangan yang memegang peran dalam lalu lintas perputaran uang di negeri ini, seolah melanggengkan permasalahan. Sebagai contohnya, pembuatan iklan promosi bank di televisi hanya menampilkan uang dalam pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu rupiah. Tak pernah ada iklan yang menampilkan uang pecahan seratus atau lima puluh rupiah. Pihak perbankan pun tidak memberikan kemudahan pada para nasabah menabungkan 50 rupiah sebagai setoran minimum di bank. Biaya administrasi per bulan yang diambil oleh bank dari rekening tabungan mensyaratkan saldo minimum Rp. 2.000.000 agar saldo tidak berkurang karena potongan biaya administrasi. Keberadaan biaya administrasi dianggap wajar sebagai imbalan terhadap jasa pelayanan bank. Padahal jika bank tidak menerapkan biaya administrasi sekalipun, pihak bank masih tetap memperoleh keuntungan dari uang yang dititipkan nasabah. Keuntungan tersebut berupa nilai waktu dari uang. Apalagi saat ini tersedia paket investasi dalam jangka pendek, sehingga akan sangat mungkin pihak bank melipatgandakan keuntungan.
Penggalangan dana oleh bank dari masyarakat belum mampu sampai ke ranah jumlah nominal uang terkecil. Lagi-lagi yang menjadi focus perhatian tertuju pada nasabah-nasabah kelas kakap, yaitu nasabah yang memiliki modal besar. Sampai-sampai pihak bank pun rela mendatangi tempat tinggal nasabah kelas kakap untuk menegosiasikan keuntungan dana nasabah yang akan di berikan oleh bank. Tentunya dengan memasukan servis ekstra bagi nasabah kelas kakap. Sementara masyarakat dengan uang receh masih dibiarkan tercecer.
Sebagai langkah solutif, pihak bank mulai memperhatikan permasalahan tercecernya recehan-recehan yang ada di tangan orang per orangan. Pemberian kotak penyimpanan uang receh semacam celengan kepada tiap orang merupakan langkah strategis sebagai sarana penyadaran kembali masyarakat akan pentingnya menabung, sebagai media untk menarik nasabah bank, dan sebagai cara untuk meminimalisir hilangnya uang recehan dari perputaran mata uang di masyarakat. Saat jumlah uang recehan sudah memenuhi kotak penyimpanan, nasabah memindahkan tempat penyimpanannya di rekening bank. Langkah serupa sempat diaplikasikan oleh Kopkun di lingkungan mahasiswa Kampus UNSOED dengan memberikan celengan yang terbuat dari botol bekas air mineral dan cukup berjalan sukses.
Aku teringat pada seorang petugas dinas kebersihan kota Tasikmalaya. Usianya sekitar 27 tahun. Dia menarik gerobak sampah di sekitar Bank Indonesia. Hari itu adalah hari keberuntungannya, karena dia menemukan sebuah koin logam seratus rupiah yang tercecer di persimpangan jalan sepi bekas kendaraan mewah berlalu lalang. Baginya yang setiap hari bertugas membersihkan jalanan kota, memunguti sampah-sampah, memungut koin seratus rupiah tidaklah menjadi hal memalukan meski kian banyak orang menganggap recehan sebagai sampah. Seratus rupiah tetaplah berharga untuk menyambung hidupnya. Bisakah bank melakukan hal yang sama?[]
sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/29/misi-penyelamatan-satu-rupiah/
0 comments:
Post a Comment