Kalah dan menang adalah sesuatu yang pasti dalam sebuah laga final, mereka yang lebih siap serta siapa yang bisa belajar dari kesalahan dalam kekalahan pada pertandingan sebelumnya yang akan memetik kemenangan. Pembuktian akan semuanya itu akan sama-sama kita saksikan malam nanti.
Nanti malam adalah partai penentuan, apakah Indonesia atau Malaysia yang akan memboyong Piala Federasi Sepakbola Asean atau AFF yang sebelumnya bernama Piala Tiger, nama sebuah minuman beralkohol yang menjadi sponsor kejuaraan ini selama beberapa tahun.
Malaysia kita ketahui saat ini sedang berada di atas angin, setelah membekuk Indonesia dengan angka telak 3-0. Dalam suatu pertandingan yang diwarnai insiden cahaya laser yang disorotkan oleh penonton Malaysia kepada penjaga gawang Indonesia Markus Horison, serta sebuah petasan yang meledak di pinggir lapangan pertandingan.
Datang ke Malaysia dengan rasa optomisme yang tinggi dan semangat yang membara, ditambah dengan dukungan 15.000 penonton warga Indonesia yang ikut menyaksikan langsung dan memberikan semangat di stadion Bukit Jalil. Pada akhirnya tim nasional kita harus pulang dengan kepala tertunduk, itulah kenyataan pahit yang kita dapatkan.
1293586362166977293
Ilustrasi/Admin (KOMPAS)
Peperangan memang belum usai serta peluang itupun belum tertutup mati, apalagi kita saat ini mendapat kesempatan sebagai tuan rumah. Tapi mampukah tim nasional kita memanfaatkan peluang dan momentum ini? Sebuah pertanyaan mendasar yang membutuhkan jawaban, dan jawaban itu hanya akan kita dapatkan setelah peluit terakhir ditiup oleh wasit diakhir pertandingan malam nanti.
Juara? Itu adalah hasil akhir yang diharapkan oleh kedua kesebelasan tim nasional, Indonesia maupun Malaysia. Bagaimana kalau Indonesia yang menjadi juara? Kita akan menyaksikan sebuah pesta yang luar biasa. Sebuah pesta yang tak pernah dialami oleh tim nasional kesebelasan Indonesia beberapa tahun terakhir. Dan saya punya suatu firasat, pesta kemenangan ini bagaikan pestanya orang-orang yang mabuk karena miras. Pesta yang punya peluang bisa tak terkendali, yang berkemungkinan pada pesta yang berujung pada tindakan anarkis, untuk meluapkan kemenangan yang telah ditunggu-tunggu sekian tahun lamanya.
Lalu bagaimana kalau kita kalah?
Inilah yang paling kita takutkan, bukan takut pada kekalahannya, tapi takut pada akibat yang disebabkan oleh kekalahan itu.
Sudah berapa tahun Liga Sepak Bola Indonesia berputar? Pernahkah kita membaca di surat kabar atau menontonnya di televisi bahwa suatu pertandingan benar-benar berakhir tenang dan damai, bila tim tuan rumah mengalami kekalahan dari tamunya, sebagaimana kita melihat akhir sebuah pertandinganh sepakbola Eropa dan belahan dunia lainnya yang mempunyai tradisi sepakbola yang baik?
Saya tidak akan mengatakan bahwa seluruh pertandingan Liga Sepakbola Indonesia itu ricuh, ada beberapa pertandingan yang berakhir damai terutama dipihak penonton, walau kesebelasan tuan rumah kesayangan mereka kalah.
Tapi situasi damai itu bisa dihitung dengan jari, dimana penonton bisa pulang dengan tenang, walaupun kesebelasan tuan rumah kesayangan mereka mengalami kekalahan. Tapi komentar miring atas jalannya pertadingan itu, tetap saja berluncuran keluar. Ironinya, komentar itu datang dari pihak-pihak yang seharusnya tahu persis dengan esensial sebuah pertandingan oleh raga, yaitu kalah dan menang. Selalu saja ada pihak yang disalahkan dalam menerima kekalahan itu, mereka tidak bisa menerima kekalahan dengan legowo dan berlapang dada, lalu kemudian memperbaiki diri menghadapi pertandingan berikutnya.
Menghadapai situasi seperti itu, akan seperti apakah situasi yang akan kita temui, bila kesebelasan nasional Indonesia pada saatnya nanti benar-benar gagal mewujudkan mimpi dan kemenangan yang di dambakan itu?
Saya punya suatu keyakinan, diantara lebih dari tujuh puluh ribu atau malah mungkin seratus ribu penonton, bila semua kapasitas tempat duduk di Stadion Utama Bung Karno terisi. Beberapa persen diantara pedukung setia kesebelasan nasional Indonesia itu, belum atau bahkan tidak bisa menerima kenyataan pahit itu.
Lalu apa yang akan terjadi dengan mereka yang pada umumnya adalah anak-anak muda dengan emosi tinggi yang belum terkendali itu? Cukuplah kisah-kisah beberapa tahun belakangan ini yang menjadi keprihatinan kita. Bagaimana situasi sekitar Gelanggang Olah Raga Bung Karno, di saat kesebelasan Indonesia kalah bertanding dalam suatu turnamen resmi. Atau sebuah klub dengan pendukung fanatik yang kalah dalam suatu pertandingan puncak, ratusan juta kerugian ditimbulkan oleh mereka-mereka yang tidak puas atau kecewa dengan tim kesayangan mereka, anarkisme memperlihatkan bentuknya dalam tindakan mereka yang kecewa itu.
Kini, itu pulalah yang saya takutkan akan terjadi, bila tim nasional Indonesia mengalami kekalahan dan gagal mempersembahkan piala AFF ini ke pangkuan ibu pertiwi. Mayoritas para pecandu bola kita belum bisa menerima kekalahan, apalagi kekalahan sebuah tim basional yang digembar-gemborkan begitu perkasa, karena tak pernah mengalami kekalahan sejak awal pertandingan piala AFF ini digelar hingga melaju ke final. Dimana sewaktu melawan Malaysia, kesebelasan jiran yang saat ini mereka hadapi itu, ditundukkan dengan angka yang lebih telak 5-1
Sebenarnya piala AFF ini bukanlah sebuah pertandingan tingkat dunia. Ini hanyalah peristiwa olah raga yang sifatnya hanya regional Asean.
Tapi miskinnya persepakbolaan nasional Indonesia akan gelar bergengsi, walau hanya pada tatanan Asean ini dalam dasawarsa terakhir. Membuat acara final piala AFF ini di hadapi bagai sebuah pesta kejuaraan kelas dunia yang di gelar Indonesia, apalagi diliput dengan begitu gencar oleh media televisi nasional sejak dari awal.
Sama seperti harapan bangsa Indonesia pada umumnya, saya juga mengharapkan kesebelasan nasional Indonesia, dapat mewujudkan mimpinya dengan menjuarai Piala AFF ini. Namun seandainya situasi yang kita dapatkan adalah sebaliknya, mari kita menerimanya dengan lapang dada, tanpa harus berbuat sesuatu yang merugikan khalayak ramai dengan tindakan-tindakan yang merusak dan anarkis.
Saya ingin Gelanggang Olah Raga Bung Karno tetap seperti apa adanya saat ini, indah dan megah. Sebagaimana para penonton itu memasukinya mulai siang atau sore hari nanti. Impian saya adalah, para penonton kita bisa bersikap dewasa walau seandainya kesebelasan nasional kita kalah dari Malaysia. Bisa menerima kekalahan ini adalah bagian dari suatu pertandingan olah raga, dalam hal ini sepakbola. Menerimanya dengan jiwa besar, pulang meninggalkan stadion utama Bung Karno dengan keikhlasan dalam kesedihan, tanpa melakukan perbuatan anarkis dan tercela yang merusak jiwa dan sportifitas olahraga. Tinggalkan Gelanggang Olahraga Bung Karno dengan damai, sebagaimana kita mendatanginya sebelumnya, tanpa meninggalkan jejak yang dikenang buruk dalam sejarah persepakbolaan kita.
Kalah dan menang adalah sesuatu yang pasti dalam sebuah laga final, mereka yang lebih siap serta siapa yang bisa belajar dari kesalahan dalam kekalahan pada pertandingan sebelumnya yang akan memetik kemenangan. Pembuktian akan semuanya itu akan sama-sama kita saksikan malam nanti.
sumber : http://olahraga.kompasiana.com/bola/2010/12/29/siapkah-kita-untuk-kalah/
Malaysia kita ketahui saat ini sedang berada di atas angin, setelah membekuk Indonesia dengan angka telak 3-0. Dalam suatu pertandingan yang diwarnai insiden cahaya laser yang disorotkan oleh penonton Malaysia kepada penjaga gawang Indonesia Markus Horison, serta sebuah petasan yang meledak di pinggir lapangan pertandingan.
Datang ke Malaysia dengan rasa optomisme yang tinggi dan semangat yang membara, ditambah dengan dukungan 15.000 penonton warga Indonesia yang ikut menyaksikan langsung dan memberikan semangat di stadion Bukit Jalil. Pada akhirnya tim nasional kita harus pulang dengan kepala tertunduk, itulah kenyataan pahit yang kita dapatkan.
1293586362166977293
Ilustrasi/Admin (KOMPAS)
Peperangan memang belum usai serta peluang itupun belum tertutup mati, apalagi kita saat ini mendapat kesempatan sebagai tuan rumah. Tapi mampukah tim nasional kita memanfaatkan peluang dan momentum ini? Sebuah pertanyaan mendasar yang membutuhkan jawaban, dan jawaban itu hanya akan kita dapatkan setelah peluit terakhir ditiup oleh wasit diakhir pertandingan malam nanti.
Juara? Itu adalah hasil akhir yang diharapkan oleh kedua kesebelasan tim nasional, Indonesia maupun Malaysia. Bagaimana kalau Indonesia yang menjadi juara? Kita akan menyaksikan sebuah pesta yang luar biasa. Sebuah pesta yang tak pernah dialami oleh tim nasional kesebelasan Indonesia beberapa tahun terakhir. Dan saya punya suatu firasat, pesta kemenangan ini bagaikan pestanya orang-orang yang mabuk karena miras. Pesta yang punya peluang bisa tak terkendali, yang berkemungkinan pada pesta yang berujung pada tindakan anarkis, untuk meluapkan kemenangan yang telah ditunggu-tunggu sekian tahun lamanya.
Lalu bagaimana kalau kita kalah?
Inilah yang paling kita takutkan, bukan takut pada kekalahannya, tapi takut pada akibat yang disebabkan oleh kekalahan itu.
Sudah berapa tahun Liga Sepak Bola Indonesia berputar? Pernahkah kita membaca di surat kabar atau menontonnya di televisi bahwa suatu pertandingan benar-benar berakhir tenang dan damai, bila tim tuan rumah mengalami kekalahan dari tamunya, sebagaimana kita melihat akhir sebuah pertandinganh sepakbola Eropa dan belahan dunia lainnya yang mempunyai tradisi sepakbola yang baik?
Saya tidak akan mengatakan bahwa seluruh pertandingan Liga Sepakbola Indonesia itu ricuh, ada beberapa pertandingan yang berakhir damai terutama dipihak penonton, walau kesebelasan tuan rumah kesayangan mereka kalah.
Tapi situasi damai itu bisa dihitung dengan jari, dimana penonton bisa pulang dengan tenang, walaupun kesebelasan tuan rumah kesayangan mereka mengalami kekalahan. Tapi komentar miring atas jalannya pertadingan itu, tetap saja berluncuran keluar. Ironinya, komentar itu datang dari pihak-pihak yang seharusnya tahu persis dengan esensial sebuah pertandingan oleh raga, yaitu kalah dan menang. Selalu saja ada pihak yang disalahkan dalam menerima kekalahan itu, mereka tidak bisa menerima kekalahan dengan legowo dan berlapang dada, lalu kemudian memperbaiki diri menghadapi pertandingan berikutnya.
Menghadapai situasi seperti itu, akan seperti apakah situasi yang akan kita temui, bila kesebelasan nasional Indonesia pada saatnya nanti benar-benar gagal mewujudkan mimpi dan kemenangan yang di dambakan itu?
Saya punya suatu keyakinan, diantara lebih dari tujuh puluh ribu atau malah mungkin seratus ribu penonton, bila semua kapasitas tempat duduk di Stadion Utama Bung Karno terisi. Beberapa persen diantara pedukung setia kesebelasan nasional Indonesia itu, belum atau bahkan tidak bisa menerima kenyataan pahit itu.
Lalu apa yang akan terjadi dengan mereka yang pada umumnya adalah anak-anak muda dengan emosi tinggi yang belum terkendali itu? Cukuplah kisah-kisah beberapa tahun belakangan ini yang menjadi keprihatinan kita. Bagaimana situasi sekitar Gelanggang Olah Raga Bung Karno, di saat kesebelasan Indonesia kalah bertanding dalam suatu turnamen resmi. Atau sebuah klub dengan pendukung fanatik yang kalah dalam suatu pertandingan puncak, ratusan juta kerugian ditimbulkan oleh mereka-mereka yang tidak puas atau kecewa dengan tim kesayangan mereka, anarkisme memperlihatkan bentuknya dalam tindakan mereka yang kecewa itu.
Kini, itu pulalah yang saya takutkan akan terjadi, bila tim nasional Indonesia mengalami kekalahan dan gagal mempersembahkan piala AFF ini ke pangkuan ibu pertiwi. Mayoritas para pecandu bola kita belum bisa menerima kekalahan, apalagi kekalahan sebuah tim basional yang digembar-gemborkan begitu perkasa, karena tak pernah mengalami kekalahan sejak awal pertandingan piala AFF ini digelar hingga melaju ke final. Dimana sewaktu melawan Malaysia, kesebelasan jiran yang saat ini mereka hadapi itu, ditundukkan dengan angka yang lebih telak 5-1
Sebenarnya piala AFF ini bukanlah sebuah pertandingan tingkat dunia. Ini hanyalah peristiwa olah raga yang sifatnya hanya regional Asean.
Tapi miskinnya persepakbolaan nasional Indonesia akan gelar bergengsi, walau hanya pada tatanan Asean ini dalam dasawarsa terakhir. Membuat acara final piala AFF ini di hadapi bagai sebuah pesta kejuaraan kelas dunia yang di gelar Indonesia, apalagi diliput dengan begitu gencar oleh media televisi nasional sejak dari awal.
Sama seperti harapan bangsa Indonesia pada umumnya, saya juga mengharapkan kesebelasan nasional Indonesia, dapat mewujudkan mimpinya dengan menjuarai Piala AFF ini. Namun seandainya situasi yang kita dapatkan adalah sebaliknya, mari kita menerimanya dengan lapang dada, tanpa harus berbuat sesuatu yang merugikan khalayak ramai dengan tindakan-tindakan yang merusak dan anarkis.
Saya ingin Gelanggang Olah Raga Bung Karno tetap seperti apa adanya saat ini, indah dan megah. Sebagaimana para penonton itu memasukinya mulai siang atau sore hari nanti. Impian saya adalah, para penonton kita bisa bersikap dewasa walau seandainya kesebelasan nasional kita kalah dari Malaysia. Bisa menerima kekalahan ini adalah bagian dari suatu pertandingan olah raga, dalam hal ini sepakbola. Menerimanya dengan jiwa besar, pulang meninggalkan stadion utama Bung Karno dengan keikhlasan dalam kesedihan, tanpa melakukan perbuatan anarkis dan tercela yang merusak jiwa dan sportifitas olahraga. Tinggalkan Gelanggang Olahraga Bung Karno dengan damai, sebagaimana kita mendatanginya sebelumnya, tanpa meninggalkan jejak yang dikenang buruk dalam sejarah persepakbolaan kita.
Kalah dan menang adalah sesuatu yang pasti dalam sebuah laga final, mereka yang lebih siap serta siapa yang bisa belajar dari kesalahan dalam kekalahan pada pertandingan sebelumnya yang akan memetik kemenangan. Pembuktian akan semuanya itu akan sama-sama kita saksikan malam nanti.
sumber : http://olahraga.kompasiana.com/bola/2010/12/29/siapkah-kita-untuk-kalah/
0 comments:
Post a Comment