By RAGILE, 17-sep-2010. Issue pertikaian agama kembali mencuat. Bernuansa penistaan, kekerasan, ekstrimisme, terorisme. Bukan cuma di wilayah tradisional kaum beragama kuat, bahkan merambah ke Inggris dan Amerika di mana agama sudah “disapih” dari sistem kenegaraan. Muncul pertanyaan publik: apakah agama sumber konflik dan perang? Lalu di mana klaim agama penebar kasih sayang bagi semesta alam? Apanya yang salah?
Ijinkan saya urun rembuk dengan merangkum dari berbagai sumber beserta fakta di lapangan yang saya temui baik yang terang, tersamar hingga terekstrim:
1) Barangkali sudah watak umat beragama pasca jaman nabi meyakini agama sendiri yang benar, yang lain dicap salah-bid’ah-sesat-kafir-setan. Cap yang sama kemudian ditempel ke jidat kaum seagama yang beda aliran. Cap yang sama kemudian dihadiahkan kepada kaum sealiran tapi beda perguruan. Cap yang sama kemudian dihembuskan kepada kaum satu perguruan tapi beda partai politik. Begitu seterusnya proses penghakiman mengerucut dan menyempit, ujung-ujungnya klaim bahwa hanya dia sendiri yang benar. Maka jadilah dia Tuhan baru, pemegang hak monopoli tafsir dan monopoli kebenaran.
Orang lain tergiur untuk jadi Tuhan-Tuhan baru. Tak pelak perang badar antar “Tuhan” hanya soal waktu. Sementara Tuhan asli membebaskan mahluk untuk memilih, Tuhan-Tuhan palsu bernafsu mengincar kursi kekuasaan dengan agresif: merekrut umat, membangun rumah ibadat, memungut öngkos tiket ke surga, mengutip pajak bebas neraka, bikin kendraan parpol, bentuk tentara/polisi liar. Hebatnya lagi tuhan-tuhan baru lihay mengatasnamakan tuhan asli. “Ini kata Allah… Ini kata Tuhan…” dijadikan senjata untuk membungkam akal dan nurani. Anak kecil juga tahu itu “Kata kamu… Menurut kamu…”.
2) Sudah ditutup rapat-rapat “PINTU RAHASIA” di mana Tuhan menciptakan banyak agama, keyakinan, kepercayaan, ratusan nabi, menyebar seantero jagat. Atas kehendakNYA tanpa melalui ijin, sharing dan connecting dengan mahluk. 1001 pintu kebenaran telah diperas menjadi satu pintu.
Tuhan-tuhan baru sukses menurunkan firman mereka sendiri tiap hari di media massa dan di khotbah rutin bahwa keselamatan umat hanya bila umat lain dipunahkan. Melalui pesan terselubung di balik kata-kata manis penuh sandiwara penuh kebencian.
3) Bukan rahasia lagi bahwa banyak cerdik-pandai tidak berminat mendalami agama, akibatnya ajaran agama jatuh ke pangkuan ( kebanyakan ) orang-orang bodoh. Dengan modal menghafal kitab suci, berdandan alim, pandai menggurui, jadilah mereka corong agama. Bisa dibayangkan, bila agama ibarat batu pualam jatuh ke tangan orang yang hanya paham batu kali, apa jadinya? Batu pualam yang indah menyejukan beralih fungsi jadi batu kali untuk menimpuk, melukai, menteror siapa saja yang tidak segolongan.
4) Era teknologi informasi, internet misalnya, membuka pintu lebar-lebar individu unjuk gigi. Ekstrimis dan teroris menemukan pijakan untuk teriak lantang. Mereka yang hanya minoritas berhasil merebut panggung tertinggi bicara atas nama agama/tuhan. Dagelan serupa monster-monster berjubah haus darah jadi menu tontonan sehari-hari. Celakanya umat yang sukses dibodohi rela mengalungi wajah-wajah monster tsb dengan jimat antikritik plus sertifikat pahlawan.
5) Ajaran agama diklaim bernilai moralitas abadi dan universal diperuntukan bagi semua insan, tapi pada saat yang sama hanya kelompok tertentu yang boleh menafsirkan ajaran agama; bisa diibaratkan falsafah Pancasila hanya boleh ditafsirkan oleh bangsa Indonesia di mana bangsa asing dilarang bicara dan menafsirkan Pancasila sebelum menjadi warga negara Indonesia, “kalo pengin slamet”. Indikasi mentalitas tertutup dan monopoli bukan?
*
Mungkin pertanyaan publik sebagian telah terjawab di sini. Lalu bagaimana jika pertanyaan publik dibalik: Apakah tanpa agama dijamin tidak konflik dan perang? Bila tidak, lalau solusinya apa agar kehadiran agama sesuai pesan moral asli para nabi yaitu kasih sayang dan perdamaian semesta alam? Apakah kaum beragama belum kenyang cari kambing hitam atas kegagalannya menyejahterakan umat? Belum mau introspeksi?
sumber : http://politik.kompasiana.com/2010/09/17/benarkah-agama-sumber-konflik-perang/
0 comments:
Post a Comment