Beberapa waktu lalu aku dalam perjalanan dari Balige menuju Medan, ada hal menarik yang kutemui di perjalanan yang membuatku berpikir tentang martabat seorang wanita. Terutama di dalam keluarga Batak yang selalu mengagungkan istilah “Boru ni Raja”. Juga gambaran betapa lemahnya seorang wanita.
Sewaktu mobil yang kutumpangi berada di Siantar, di tengah jalan ada seorang wanita menghentikannya. Karena sudah malam dan kondisi jalan yang gelap, sopir menghentikannya kira-kira 5 meter dari tempat wanita itu berdiri. Dengan tergesa-gesa wanita yang kutaksir kira-kira berumur 45 tahun langsung duduk ke sampingku. Dia hanya mengenakan stelan baju tidur sambil menenteng sebuah plastik hitam dan tas kecil, di bahunya ada sebuah sarung. Belum lagi mobil berjalan, tiba-tiba pintu terbuka dan seorang laki-laki menarik tangan wanita itu.
Lelaki itu berkata, “Unang laho ho, hatop turun. Ingkon mangkatai ma jo hita. Amang sopir paturun hamu jo inanta on, ai pardijabu hu do ibana.” (Kamu jangan pergi, cepat turun. Kita harus bicara. Bapak sopir turunkan wanita ini, dia istriku). Wanita itu membalas, “ Dang olo ahu, dang tahan be au rap dohot ho. Nga leleng hutaon sude pangalahom. Nga sae be sai disusai ho ngolunghu. Urus ma gellengta i.” (Aku tidak mau, aku tidak tahanlagi bersamamu,. Sudah terlalu lama aku menahan semua perilakumu. Sampai di sini saja kau menyusahkan hidupku. Kau uruslah anak kita).
Sempat terjadi tarik menarik menarik diantara keduanya dan saling teriak, sehingga penumpang lain mulai potes dan menyuruh wanita itu turun. Tapi wanita itu bersikeras tidak mau turun. Laki-laki itupun membanting pintu mobil dengan keras sambil menyumpah dan mengancam. Sopir lalu menyuruh wanita itu untuk segera turun karena dia tidak ingin ada hal-hal buruk terjadi di perjalanan. Wanita itu terus memohon untuk ikut saja. Tapi sopir dan penumpang lain tidak mau dan tetap menyuruh wanita itu turun untuk menyelesaikan masalah dengan lelaki itu.
Karena melihat tidak ada harapan untuk ikut, maka wanita itu turun dan sambil menangis dia berkata: “Ah, tahe…, borat nai sitaononhon (ah, betapa berat bebanku).”
Dia pun menutup pintu mobil. Aku hanya bisa memandangi wanita itu dari jendela, dia berlari ke seberang jalan dan menghilang di kegelapan malam. Mobil yang kutumpangi pun melanjutkan perjalanan.
Aku terdiam dan merasa terpukul dengan kejadian itu. Aku berpikir wanita itu nekad meninggalkan keluarganya mungkin karena sudah tidak tahan dengan perlakuan sang suami. Hal ini kusimpulkan dari wajah dan tatapan matanya yang menggambarkan rasa putus asa, ketakutan dan dia tidak lagi berpikir untuk berpakaian yang pantas jika memang dia ingin melakukan sebuah perjalanan. Rasa tidak percaya diri dan dikecewakan telah membutakan mata hati maupun perasaannya.
Bagaimana mungkin dia nekad bepergian malam hari dan pastinya meninggalkan anak-anaknya ? Belum lagi dia harus dikejar sang suami yang ternyata tidak rela kalau si istri meninggalkannya. Pikiran itu terus berkecamuk dan membuatku merasa miris dengan kedudukan wanita dalam rumah tangga.
Dalam keluarga Batak dikenal istilah “Anak ni Raja dan Boru ni Raja”. Bila seorang anak perempuan akan menikah, maka orang tua akan selalu menasehatinya untuk berperilaku sebagai Boru ni Raja (Puteri Raja), yang harus menjaga sikap dan menjadi seorang istri juga ibu yang baik. Dia harus mengabdi kepada sang suami. Karena sikapnya akan mencerminkan ajaran dan nama baik keluarganya.
Tetapi yang sering terjadi adalah, ketimpangan dalam keluarga. Lelaki sebagai Anak ni Raja sangat disanjung, tetapi kebanyakan istri kehilangan makna sesungguhnya sebagai Boru ni Raja. Tidak ada lagi keseimbangan. Seringkali, seorang istri harus merasakan tekanan dari suami baik fisik maupun mental. Tapi dia hanya bisa diam, menerima begitu saja dan bertahan demi menjaga nama baik dan amanat dari orang tua. Haknya seakan-akan dirampas, dia harus benar-benar tunduk dan terima apa pun yang terjadi. Karena dia sudah terikat perkawinan dengan sang suami.
Banyak kejadian seperti ini yang kutemui, dan hampir seluruhnya berkata, “Mau apalagi ? Saya sudah terlanjur menikah dan saya tidak mau mempermalukan suami juga orang tua saya. Yang penting saya masih bisa bersama anak-anak.”
Ketakutan yang utama adalah takut dipisahkan dari anak-anaknya. Karena bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak, kekuatan utamanya adalah anak-anak. Hal ini karena wanitalah yang mengandung dan melahirkan, jadi mereka sudah merasakan sakitnya memperjuangkan kehidupan bayi yang akan lahir dan ikatan bathin yang sudah terjalin sejak bayi dalam kandungan. Tetapi ini juga yang menjadi kelemahan, sehingga tidak berani protes walau sudah diperlakukan dengan semena-mena.
Aku tidak menutup mata dengan kenyataan lain bahwa banyak juga wanita yang sudah menyalahi kodratnya. Tetapi dalam hal ini, aku hanya ingin mengungkapkan perasaan tidak terima dengan status wanita yang seringkali lemah di dalam rumah tangga. Seharusnya, kaum pria sebagai anak ni Raja dapat bertindak bijaksana. Karena seorang Raja adalah Pemimpin, teladan dan mempunyai wibawa. Bukan sebagai seorang diktator yang menganggap dirinya sangat berkuasa dan dapat berbuat sesuka hati, apalagi kalau ringan tangan, sungguh memalukan dan sikap seorang pengecut.
Aku yakin, wanita tadi sudah benar-benar tidak tahan dan putus asa sehingga dia memilih untuk lari dan meninggalkan keluarganya. Berbagai macam pikiran berkecamuk. Aku khawatir wanita itu akan nekad dan mengambil jalan pintas. Mungkin dalam pikirannya sudah tidak mengingat anak-anak yang ditinggalkan di rumahnya, baginya yang penting pergi sejauh mungkin dari suami. Sebuah keputusan yang berat. Dia merasa sendiri dan tidak ada tempat berlindung.
Sampai kapan hal ini seperti ini akan terjadi ? Kita tidak akan pernah tahu. Banyak juga keluarga yang bahagia dan dapat menyelesaikan masalah delam rumah tangga dengan baik-baik. Menurutku ini dikarenakan pria yang menjadi Kepala rumah tangga sudah bisa memahami dan menjalankan kedudukannya sebagai seorang anak ni raja. Jadi dia akan berusaha bersikap bijaksana. Bukan lagi sebagai penguasa.
Dan bagi kaum wanita, seharusnya pemahaman sebagai boru ni raja adalah untuk menjadi wanita seutuhnya yang akan menjaga dan menghormati keluarga itu sendiri terutama suami sebagai pemimpin. Bukan terima begitu saja pelakuan semena-mena. Jangan hanya menganggap bahwa wanita itu memang lemah terutama dalam berkeluarga. Bukan juga mau menyalahi kodrat sehingga memaksakan diri untuk menyamakan kedudukan dengan suami. Harusnya ada keseimbangan dalam hal-hal tertentu.
Bagi kaum wanita yang membaca tulisanku ini, aku hanya mau berpesan; jangan mau jadi wanita lemah, tetapi jangan juga melupakan kodrat kita. Kita juga berhak untuk protes kalau memang harga diri dan martabat kita sudah tidak lagi dihargai. Dan bagi kaum pria: jadilah anak ni raja yang bijaksana dan bisa menghargai wanita.
sumber: http://blogberita.net/2009/05/07/betulkah-anak-ni-raja-dan-boru-ni-raja/
0 comments:
Post a Comment