Oleh : Michael F Umbas
“…Aku selamat dari cacar air, campak, dan sengatan cemeti bambu milik guruku. Anak-anak petani, pelayan, dan birokrat rendahan telah menjadi sahabat-sahabatku dan kami bersama-sama berlarian di jalanan siang dan malam, melakukan pekerjaan-pekerjaan aneh, menangkap jangkrik, mengadu layang-layang dengan benang tajam.”
(Penggalan dalam buku “Dreams from My Father” yang ditulis Obama 1995)
Barrack Hussein Obama pun menjejakkan kakinya di Jakarta, Selasa (9/10). Sang “anak Menteng” itu sungguh sumringah kembali ke negeri tempat dimana ia pernah membagi kenangan masa kecil. Berkali-kali ia menyatakan rindu pada nasi goreng, sate dan bakso, makanan yang dulunya ia gemari. Sang Presiden yang semasa kecil gemar bermain di empang itu, disambut hangat, meriah dan tentunya formalitas kenegaraan. “Apa kabar,” ujar Obama kepada petinggi negeri ini yang menjemput.
Obama beberapa kali melakukan penundaan kunjungan ke Indonesia, dimana pernah dijadwalkan November 2009 bertepatan dengan Konferensi APEC di Singapura kemudian dibatalkan, dan diperkirakan akan datang pada awal 2010 namun terus mengalami perubahan. Gedung Putih kembali menjadwalkan kedatangan Obama 22 hingga 24 Maret 2010, hingga kemudian ditunda dengan alasan sedang fokus memperjuangkan Undang-undang Jaminan Kesehatan dengan Kongres AS. Sempat dijadwalkan kembali pada Juni 2010, namun kembali ditunda, hingga akhirnya tanggal 9-10 November 2010 Obama datang ke Indonesia.
Saya teringat ketika bersama Gubernur Sulut, Sinyo Harry Sarundajang berkunjung ke Markas United Nation Environment Program (UNEP) di Nairobi, Kenya, Februari 2009, sebulan pasca Obama dilantik sebagai Presiden AS. Waktu itu kami menghadiri Sidang Reguler ke 25 Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC/GMEF) yang digagas (UNEP). Forum ini sangat berharga dalam rangka mempertegas pelaksanaan World Ocean Conference, sekaligus mencuri simpati delegasi 146 negara peserta saat itu.
Ketika mendarat di Nairobi-Jomo Kenyatta Internasional Airport, ada sederet pemandangan menarik Di pusat keramaian dan sudut-sudut kota yang berjuluk bumi ‘Maasai Mara’ itu. Aneka poster Obama terpampang dengan gagahnya. Euforia rakyat Kenya tak bisa disembuyikan seakan ingin menyampaikan ke publik dunia bahwa mereka bukan lagi Negara strata rendah di Afrika. Mereka telah mampu “menghadiahkan” sang pemimpin bagi negara adikuasa, Amerika Serikat.
Dan, ada sebuah kejadian menarik menjelang sidang tatkala delegasi RI bersua dengan delegasi Kenya yang dipimpin Menteri Pembangunan Perikanan, Dr Paul Otouma, EGH, MP. Secara berkelakar Otouma berujar bahwa publik Kenya sedang bergembira karena Barack Obama yang berdarah Afrika keturunan Kenya, memimpin negara besar Amerika Serikat. Gurauan Otouma ini langsung ditimpali Gubernur Sarundajang dengan berujar dalam bahasa Inggris yang fasih, ”Anda boleh bangga Obama adalah keturunan Kenya, tapi jangan lupa, kalau tidak sekolah di Indonesia mungkin dia tidak akan menjadi pintar dan menjadi Presiden.” Sontak semua tertawa. Outoma tampak tersipu tidak menyangka mendapat respon ‘setelak’ itu. Ketika WOC digelar di Manado, 11-15 Mei 2009 Outoma hadir mewakili Kenya, dia mengaku terkesima dengan Manado dan Indonesia.
Obama adalah ‘produk’ multi etnik karena merupakan perpaduan darah Afro-American, ibunya Ann Dunham menikah dengan Barack Hussein Obama, Sr., adalah seorang lelaki asal Kenya dari Nyang’oma Kogelo, Distrik Siaya. Dia inilah ayah kandung Obama, sang penggembala kambing namun mendapat beasiswa untuk belajar di Hawai. Tak bisa dipungkiri kulit hitam Obama adalah warisan dari sang Ayah.
Ketika Obama masih bayi, ayahnya mendapat kesempatan untuk belajar di Harvard namun karena kendala dana bagi keluarga untuk ikut, Obama Sr membatalkan kesempatan itu . Ia kemudian kembali ke Kenya sendirian, bekerja sebagai ekonom pemerintah dan pasangan itu bercerai. Ketika Obama berusia enam tahun, ibunya, Ann, menikah dengan pria Indonesia Lolo Soetoro dan keluarganya pindah ke Jakarta tahun 1967. Meskipun ayahnya dan ayah tirinya Muslim, Obama tetap beragama Kristen. Menempati rumah sederhana di Kampung Menteng Dalam, Jakarta Selatan, Obama menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Santo Fransiskus Asisi di Tebet selama tiga tahun, lalu pindah ke SD Negeri Menteng 1 hingga ia berusia 10 tahun.
Nasib dan takdir Obama sungguh dramatis, mengingat latar belakang sejarah dan keluarganya. Ia mampu menjalin anak tangga keberhasilan menembus batas-batas logika dan garis politik konvensional. Sulit membayangkan negara seperti Amerika Serikat yang pernah menganut sistem rasialis, menerapkan perbudakan dengan penindasan hak-hak kemanusiaan bangsa negro (Afrika), kini dipimpin oleh presiden berkulit hitam. “We are the change we believe in” atau berarti “ kita adalah perubahan yang kita yakini,” seru Obama dalam setiap kampanyenya. Dan perubahan yang dibawa Obama sangat fenomenal dan historikal.
Seperti Obama yang memang peduli terhadap lingkungan dan masalah pemanasan global, demikian pula Gubernur Sarundajang. Dan keduanya pun ternyata mengagumi sosok pejuang lingkungan Afrika, Wangari Muta Mathaai yang juga penerima hadiah Nobel di bidang lingkungan (tahun 2004). Obama secara khusus menemui Mathaai ketika berkunjung ke Afrika 2006 ketika masih menjabat sebagai senator.
Gubernur Sarundajang juga melakukan pertemuan dengan tokoh pejuang lingkungan Afrika, Wangari Muta Mathaai yang dikenal dengan program Greenbelt Movement itu. Pertemuan hangat keduanya dilakukan di sela-sela pembukaan sidang reguler UNEP ke 25 Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC/GMEF) di Gigiri, Nairobi Kenya, 16 Februari 2009. Keduanya berbincang hangat menyangkut masa depan lingkungan dunia. Wangari pun tak segan memuji diplomasi Sarundajang untuk menggolkan WOC yang memiliki agenda penting penyelamatan laut dan lingkungan.
Sebagai tokoh lingkungan berpengaruh, Wangari yang juga kelahiran Kenya memang selalu intens mengikuti dan berperan aktif dalam forum dunia serta upaya-upaya lain untuk menyelamatkan bumi. Baginya, World Ocean Conference adalah tema baru dalam penyelamatan lingkungan. Oleh karena itu patut didukung oleh seluruh dunia.”Saya mendukung penuh event itu, karena lingkungan harus diselamatkan dengan berbagai cara,” kata Mathaai yang pada bulan Januari 2007 silam sukses menggelar pertemuan “Global Young Greens conference” di Nairobi.
Ketika Obama secara resmi dinyatakan memenangkan Pemilihan Presiden AS, berbagai pihak menyambut hangat kemenangan ini sebagai kebangkitan dan harapan baru bagi Amerika yang selama ini dianggap tidak pro lingkungan. Sebuah artikel ditulis John Vidal berjudul, “Obama victory signals rebirth of US environmental policy” (Kemenangan Obama pertanda kebangkitan kembali kebijakan lingkungan Amerika Serikat), dirilis www.guardian.co.uk, Rabu 5 November 2008, sehari setelah kemenangan Obama. Artikel tersebut mengulas rangkaian harapan sejumlah pihak tentang akan lahirnya kebijakan Amerika Serikat yang prolingkungan
Obama pun menjawab dengan lantang harapan dunia terhadap perubahan kebijakan AS terhadap lingkungan. Pada saat menyampaikan Pidato Kemenangan sebagai Presiden terpilih ke-44 AS,“…saya tahu kalian melakukan semua ini bukan semata-mata untuk memenangkan pemilihan presiden. Dan, saya juga tahu, kalian tidak melakukannya untuk saya. Kalian semua melakukan ini semua karena benar-benar memahami betapa banyaknya tugas yang menanti di depan sana. Bahkan, saat kita merayakan (kemenangan) malam ini, kita semua tahu bahwa tantangan yang akan kita hadapi di masa mendatang adalah yang paling berat –dua perang– planet (bumi) yang berada dalam bahaya, dan krisis keuangan terburuk sepanjang abad.”
Dua isu penting yang dilayangkan Barrack Obama pada saat menyampaikan pidato kemenangannya pada Pilpres Amerika Serikat (AS) melegakan dunia. Obama dipuji atas pernyataan sikap yang menandakan sebuah sinyal perubahan besar. “Planet dalam bahaya” adalah frase penting penanda komitmen Obama tentang kondisi lingkungan global yang dalam keadaan sekarat. Selain lingkungan, tentu bagaimana membereskan krisis finansial yang bersumber dari Amerika Serikat. Janji Obama itu sungguh memikat. “Secara politik, kebijakan-kebijakan ini sungguh sulit, semuanya tidaklah mudah. Tetapi menjadi Presiden Amerika Serikat bukanlah untuk mengerjakan hal-hal mudah. Tentang bagaimana melakukan hal-hal sulit, tentang bagaimana melakukan hal-hal yang benar,” ujar Obama menyangkut sikapnya yang ingin melakukan perubahan radikal terkait kebijakan energi dan pengurangan emisi gas kaca Amerika.
Bagi Sulut, hubungan strategis yang tercipta dengan AS merupakan sebuah kebanggaan. Ketika WOC digelar di Manado, organisasi strategis milik pemerintah AS yakni National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan dukungan penuh. Bahkan Presiden Obama melalui Menlu Hillary Clinton melakukan telekonferens yang menyatakan dukungan penuh AS terhadap forum-forum pengambilan keputusan WOC. Pun ketika “Sail Bunaken” yang digelar Agustus 2009 di Manado, AS mengirimkan kapal induk USS Abraham Lincoln yang mampu memukau pemandangan dengan berparade di teluk Manado. Belum lama ini, AS juga mengirimkan kapal peneliti Oikanos untuk melakukan penelitian di perairan Sulut.
Sebagai inisiator WOC yang melahirkan keputusan dunia, Manado Ocean Declaration, nama Gubernur Sinyo Harry Sarundajang memang telah dikenal dunia. Bahkan Gubernur California Arnold Schwarzeneger sudah dua kali mengundang Sarundajang untuk hadir dalam pertemuan terbatas tingkat gubernur menyangkut masalah perubahan iklim. Tentu, garis singgung kepentingan AS di bawah kendali Barrack Obama dan Sulut (Indonesia), dibawah Gubernur Sinyo Harry Sarundajang terkait masalah lingkungan akan terus terjalin dengan baik ke depan. Semoga !
0 comments:
Post a Comment